Senin, 28 November 2011

Membayangkan Kota Tua Banten Lama

Membayangkan Kota Tua (Bagian 1)


Cahaya matahari cukup membuat keringat bercucuran ketika sepeda motor Yahama Jupiter kupacu ke arah Banten Lama. Jam arlojiku menunjuk angka 11.30. Hari Minggu 17 Juli itu, aku memang ingin mengunjungi situs sejarah yang penting bagi identitas orang Banten. Ini adalah perjalanan pertamaku ke objek wisata di Banten. Tekadku mantap, hendak menuliskan kisah jalan-jalanku dalam weblog tentang traveling. Bekalku cuma tas pinggang yang bergelantung di sabuk celana. Isinya pun sepele : buku notes, kamera saku digital dan sebuah bolpoint. Tak lupa dua buah handphone yang selalu aku bawa kemana pun pergi.
Aku memutuskan mengambil rute dari Ciceri. Sebetulnya ada peta di dinding kantorku yang bisa jadi rujukan. Hanya saja, pagi itu ruang administrasi, tempat peta kota Serang dipajang, terkunci. Jadilah hanya satu tempat tujuan yang tersisa di memori kepala yaitu Banten Lama.


Kawasan ini adalah sebuah sebuah sisa-sisa peninggalan keraton Kesultanan Banten. Letaknya di Desa Banten, Kecamatan Kasemen. Kira-kira 11 km arah utara kota Serang. Dalam perjalanan terbayang kawasan Kota Tua di Jakarta Kota yang penuh dengan gedung-gedung tua yang masih tegak berdiri, dan Kota Lama di Semarang dengan landmark Gereja Blenduk yang dikenal di manca sebagai Oud Netherland. Keduanya menjadi ikon kota Jakarta dan Semarang dan kerap disinggahi pelancong yang hendak berkelana ke masa lalu. Namun membayangkan Banten Lama, justru mengingatkanku pada Menara Masjid Demak atau Menara Kudus yang juga menjadi situs peninggalan kerajaan Islam di masa lalu. Walau begitu, bayangan nyata tentang kondisi terkini Banten Lama tak terlintas selain gambaran dari foto-foto di buku-buku pariwisata Banten atau situs internet yang menyinggungnya. Disebutkan, di sini ada Benteng Surosowan, Mesjid Agung, Klenteng Kuno dan sejumlah makam keluarga Sultan Hasanudin.
Jalan ke Kasemen tak bisa dibilang mulus. Aspal-aspalnya mengelupas. Di beberapa ruas, ada lubang-lubang yang bila tak diperhatikan dengan hati-hati bakal membuat pengendara kaget dan harus mengerem mendadak. Toh, dengan meluncur pada kecepatan 40-50 km per jam, aku cukup nyaman menikmati perjalanan.



foto: sri nanang setiyono


BUATAN INGGRIS: Di peta kuno berangka tahun1628 ini, Banten ditulis Bantam.
Pada kanan-kiri jalan, berjejer rumah-rumah penduduk yang kadang-kadang diselang-seling dengan hamparan sawah. Walau suasana pedesaan masih kental terasa, aku temui juga pom bensin dan outlet penjual voucher kartu selular di beberapa tempat. Kubah-kubah mesjid juga bertebaran layaknya desa-desa di pulau Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Setelah melewati terowongan yang di atasnya melintas jalan tol, aku menemui ada spanduk melintang di atas jalan berisi promosi kegiatan Pesta Laut yang bakal digelar di Pantai Karangantu beberapa hari mendatang. Dalam benakku, langsung terekam agenda untuk mengunjugi acara tersebut bila saatnya tiba.
Sekitar satu kilometer menjelang desa Banten, aku melihat lagi spanduk serupa. Kalau tak salah tiga kali aku melihat spanduk semacam ini. Kupikir, besar juga acara ini sehingga promosinya cukup gencar jauh-jauh hari. Ketika masih terbayang soal spanduk, tiba-tiba dari arah kanan aku melihat papan nama bertuliskan nama bangsawan yang langsung memberi tanda ke otakku bahwa tujuanku sudah dekat. Namun karena tempatnya tak begitu ramai, aku tak begitu memperhatikannya. Aku menduga tempat itu semacam padepokan (atau pemakaman?) dari salah satu bangsawan Kesultanan Banten masa lalu. Tempatnya cukup unik karena berada di tengah persawahan sekitar 25 meter dari badan jalan dan dikelilingi tembok setinggi 1 meter. Sayang aku tak begitu tertarik untuk berhenti sekadar mencatat dalam notesku apalagi mengunjunginya. Hasratku makin membuncah karena yakin lokasi yang hendak aku tuju sudah sangat dekat.
Benar saja, selepas melewati jembatan, aku menemui pertigaan. Dari rambu-rambu yang terpampang di pinggir jalan, diketahui lokasi Banten Lama tinggal 500 meter lagi dan harus ditempuh dengan mengambil jalan ke arah kiri. Sialnya, jalan yang aku tempuh ternyata lebih parah daripada sebelumnya. Selain becek, badan jalan ini rusak dan berlobang-lobang besar. Untungnya kerusakan ini tidak merata. Menjelang gerbang masuk yang dijaga Hansip, jalan sudah kembali membaik.
Gerbang yang tadi kusebut sebenarnya bukan gerbang dalam arti harfiah. Hanya ada pos Hansip di sebelah kiri dan seorang petugas keamanan yang duduk di seberang jalan. Dia menjadi pemandu bagi sopir dan pengendara motor yang baru pertama kali ke sini. Belakangan aku ketahui, rupanya pengunjung terbanyak ke Banten Lama adalah peziarah yang berasal dari pesisir pantai utara Jawa, termasuk dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Paling gampang mengenalinya adalah dari nomor polisi pada masing-masing kendaraan. Sebagian baru pertama kali berkunjung ke sini. Hansip yang duduk di seberang pos tadi aku tanyai lokasi parkir sepeda motor. Dengan ramah dia menyuruhku langsung saja masuk dan parkir di museum.

….rupanya pengunjung terbanyak ke Banten Lama adalah peziarah yang berasal dari pesisir pantai utara Jawa, termasuk dari Jawa Timur dan Jawa Tengah

Dari pos ini sudah bisa terbayang sekilas wajah kehidupan kawasan tersebut beberapa abad silam. Di sisi kiri jalan raya terpampang bangunan dari batu bata yang berwarna coklat kusam. Mirip bangunan yang temboknya terkelupas dan tanpa atap. Tingginya sekitar 3 meter dari tanah. Memang itulah benteng keraton yang dulu menjadi pelindung dari serangan musuh. Inilah Benteng Surosowan. Tembok benteng ini masih tampak kokoh walau bagian atas sudah tampak rata dan tidak terlihat lagi bekas tempat serdadu mengawasi sekeliling. Wujudnya pun tak lebih dari onggokan tembok bata yang membisu dan di bagian atasnya tampak ditumbuhi rumput. Sangat jauh dari bayangan kita tentang benteng-benteng peninggalan Inggris Belanda seperti benteng Marlborough di Jambi Bengkulu atau Vredenburg (peninggalan Belanda di Jogjakarta) yang keduanya terbuat dari batu kali yang keras. Atau benteng-benteng dalam game Age of Empires II yang tampak gagah walau hanya dalam fantasi permainan saja. Barangkali karena benteng Surosowan ini terbuat dari batu bata sehingga gampang hancur ketika digempur meriam. Namun ada satu yang menarik perhatianku dari bagian depan benteng. Di tengah-tengahnya, ada lubang setinggi kira-kira 3 meter dan lebar 2,5 meter dengan bentuk menyerupai hurup U terbalik. Inilah pintu masuk benteng sekaligus pintu masuk keraton.
Masih di atas sepeda motorku, aku meluncur di atas jalan aspal yang letaknya bersisian dengan tembok benteng walau dipisahkan tanah lapang selebar kira-kira 20 meter. Di bagian pojok benteng, jalan aspal berbelok kea rah kiri. Di sinilah aku mulai terkejut karena disambut dengan deretan pedagang kaki lima di kanan kiri jalan. Kios-kiosnya pun tak permanen karena terbuat dari papan dan bambu. Sungguh, tak bisa dikatakan indah, walau sedih juga harus mengatakan kumuh.
Di sini, suasananya mirip di pasar Melawai Blok M yang menjual aneka produk fashion murah. Hanya saja di sini barang-barang yang dijual tak jauh dari cindera mata khas tempat wisata ziarah. Aku melihat bergelantungan baju-baju muslim, tasbih, buku-buku doa, kitab suci, sajadah, kopiah, jilbab, minyak wangi, oleh-oleh makanan dari kerupuk hingga buah-buahan dan korma yang sudah dikemas. Anehnya ada pula pedagang VCD bajakan yang menggelar VCD lagu-lagu artis dangdut hingga artis pop yang sedang kondang seperti Radja, Audy, Glenn, Padi dan lain-lain. Masih mending kalau yang dijual VCD pengajian Aa Gym atau Zainuddin MZ. Ah….tampaknya hukum ekonomi lebih berlaku di sini.
Motor aku arahkan masuk ke halaman Museum Situs Kepurbakalaan yang letaknya di sisi kanan jalan yang aku sebut sendiri Kaki Lima Street (hehehe meniru istilah Wallstreet karena diapit gedung-gedung pencakar langit). Lokasinya tepat di seberang alun-alun. Saat parkir, mataku melihat sebuah meriam besar dipajang di halaman museum. Aku pun segera melepas jaket, helm dan mengunci stang. Seorang petugas berpakaian satpam berwarna biru menyodorkan kartu tanda parkir berwarna hijau yang di-laminating. Rupanya lokasi parkir ini dikelola secara tidak resmi dan pemasukkannya tidak mengalir ke kantor pemerintah.
Tiba-tiba handphone CDMA-ku menjerit. Suara di seberang telepon rupanya Adri, rekan fotografer dari surat kabar asal Jakarta, yang bilang hendak datang ke Serang. Adri memang pernah aku undang untuk berbagi keahliannya kepada teman-temanku. Kita sempat ngobrol via telepon beberapa menit.
Begitu tombol warna merah pada keypad aku pencet, aku segera bergegas ke meriam besar yang tadi mengusik mataku. Tanganku meraba tas pinggang dan segera menarik kamera digital yang sudah aku persiapkan. Setelah dekat, meriam yang dikelilingi pagar teralis dan dilindungi dari hujan dan sinar matahari oleh atap permanen itu, menjadi objek rekaman lensa. Hanya berjarak dua meter, ada batu-batu berukir yang kukira sisa bangunan yang runtuh, teronggok di sebelah selatan meriam. Dari sini aku juga mengambil beberapa foto dengan meriam sebagai latar belakang. Lantas aku berjalan ke arah utara melihat meriam yang juga ditemani onggokan batu-batu. Aku sempat pula memotret serombongan keluarga yang tengah makan siang sambil duduk lesehan di atas rumput di dekat onggokan batu itu. Kucoba celah-celah dahan pohon jambu di halaman museum untuk menjadi frame saat memotret keluarga tersebut dengan latar si meriam.Belakangan aku tahu meriam besar itu bernama Ki Amuk, pemberian Sultan Trenggono dari Kesultanan Demak, sebagai hadiah buat Sultan Maulana Hasanudin, penguasa Banten lima abad lalu.
Aku lantas menemui petugas museum yang saat itu tengah menonton televisi. Semula ia cuek waktu aku meminta informasi berkaitan dengan museum dan benda-benda purbakala yang jadi koleksinya. Aku disarankan menemui petugas lain atau membeli buku tentang sejarah kesultanan Banten seharga Rp 10 ribu. Karena untuk masuk museum harus membeli tiket, aku pun pergi ke loket. Di sinilah aku sempat disodori buku yang dimaksud, namun aku enggan membelinya. Buku itu berjudul Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kota Banten Lama terbitan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Sayangnya, saat aku buka-buka isinya, informasi tentang meriam Ki Amuk sangat sedikit. Lagipula, aku tidak begitu tertarik dengan isi yang lain. ”Barangkali lain kali atau aku cari saja ke perpustakaan nanti,” pikirku waktu itu.
Mumpung bukunya masih di depanku, informasi tentang Ki Amuk aku catat ke notes. Lantas buku aku kembalikan kepada petugas loket dan aku serahkan uang Rp 1000 untuk pengganti tiket masuk museum.
Saat masuk ke museum, sebetulnya ada perasaan enggan. Gara-garanya aku punya kesan museum-museum di Indonesia biasanya tidak merawat koleksinya dengan baik. Koleksi kadang-kadang tampak kotor oleh debu dan kusam karena sering dijamah pengunjung. Kesan ini aku dapat ketika berkunjung ke Museum Ronggowarsito di Semarang, sepuluh tahun lalu. Pencahayaan di ruangan juga kurang maksimal, sehingga kurang menggugah fantasi tentang masa lalu. ”Ah seandainya punya kesempatan menunjungi museum lilin Madame Tussaud di London,” anganku melayang-layang.
Hanya saja karena telanjur masuk, aku susuri juga lorong-lorong museum ini. Koleksi tentang bentuk bangunan rumah, senjata, denah komplek keraton masa itu, atau tembikar tidak begitu menarik perhatianku. Namun koleksi tentang uang logam dan uang kertas yang pernah dipakai di Banten, lumayan menarik minatku. Rupanya uang logam jaman Kesultanan Banten itu ditulis dengan huruf Arab namun berbahasa Jawa (arab pegon). Rata-rata ukurannya seperti kepingan Rp 500 saat ini. Di bagian tengahnya berlobang sehingga bisa dimasuki tali. Ada pula uang gulden Belanda dan uang keluaran East Indie Company (VOC-nya Inggris yang berpusat di India). Saat itu Banten memang sudah menjalin kontak datang dengan Inggris setelah mengusir Portugis dan kemudian Belanda. Uang Inggris ini juga tertulis huruf Arab namun dibaliknya dipahat aksara Latin. Di dekat koleksi uang koin, ada koleksi uang kertas ORI (oeang republik Indonesia). Umurnya jauh lebih muda karena dikeluarkan pada masa Revolusi Kemerdekaan. Salah satunya malah tertulis Oeang Darurat Banten.



foto: sri nanang setiyono


DIPLOMAT JAMAN DULU : Lukisan wajah duta besar Banten untuk kerajaan Inggris.
Aku sempat pula memotret sebuah patung yang aku duga terbuat dari perunggu. Patung ini menggambarkan lelaki yang tengah duduk sambil mengerjakan sesuatu. Karena warnanya gelap dan posisinya duduk, aku langsung terasosiasi dengan patung The Thinker karya Leonardo Da Vinci yang tersohor itu. Sayang, jepretan fotoku terlalu gelap karena lampu kilat kamera yang kupakai tak cukup kuat merekamnya.
Ada pula koleksi tentang goresan lukisan masa lalu menggambarkan kehidupan masyarakat saat itu. Seperti aktivitas pasar, perkampungan penduduk, kehidupan Sultan di depan rakyatnya hingga permainan olahraga yang digemari. Semula lukisan yang kusebut terakhir dan berupa skesta-skesta itu aku kira adalah penduduk yang sedang bermain sepak bola. Lukisan ini menampilkan formasi pemain berhadap-hadapan dan tergambar sebuah benda bulat di tengah-tengahnya. Setelah kuamati lebih teliti, ternyata ada tulisan di samping lukisan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Barulah aku ngeh kalau gambar itu adalah permainan sepak takraw yang sudah dikenal berabad-abad lalu di Banten.
Yang cukup membuat terpana adalah salinan peta dunia berangka tahun 1628. Peta ini memakai bahasa Inggris dan memang diterbitkan oleh kerajaan Inggris. Salinan peta yang digambar dalam ukuran besar dan dipajang di dinding itu, mencantumkan Banten dalam posisi yang penting dalam perspektif bangsa Barat kala itu. Nama Banten ditulis Bantam, ditiru dari penyebutan bangsa Portugis terhadap Banten. Pinggir atas peta tergambar 7 denah kota-kota besar di dunia waktu itu yaitu Goa, Damaskus, Ormuz, Aden, Macau, Banten dan Cand (?). Nama Bantam (Banten) ditulis pada posisi tengah dan dilengkapi gambar profil penduduknya dengan pakaian khas. Barangkali masa itu, orang Barat lebih gampang mengenali bangsa lain dari pakaiannya, walau jaman kini pun masih berlaku. Profil bangsa-bangsa lain yang tadi kusebut dan cara berpakainnya ditampilkan di sisi kanan dan kiri peta. Bangsa-bangsa yang tercantum di peta antara lain Asyiria, Arab, Armenia, Sumatra, Bacatvan, Iavan (Jepang), Molucca (Maluku), Chinea (China), Moscow dan sebuah lagi yang aku lupa namanya. Peta itu juga hanya mencantumkan nama Bantam pada wilayah pulau Jawa. Tak ada kota lain di Jawa yang tercantum dalam peta kuno ini. Sebelum melangkah ke koleksi lain, aku sempat meminta seorang pengunjung untuk berpose di dekat peta sebelum kuambil fotonya.
Hanya berjarak sekitar 10 meter dari lokasi peta, ada lukisan lain yang menunjukkan keistimewaan Banten di mata bangsa Inggris. Rupanya Kesultanan Banten kala itu sudah menjalin hubungan diplomatik dengan negeri di utara benua Eropa itu. Lukisan yang aku tatap adalah wajah dua orang duta besar Banten yang pernah bertugas untuk Inggris. Uniknya, satu lukisan menampilkan dua wajah dalam posisi atas dan bawah, tidak sejajar seperti umumnya lukisan pasangan raja-ratu, pengantin, suami istri atau lainnya. Gaya lukisannya seperti lukisan-lukisan wajah dari masa sebelum ditemukan teknik fotografi. Ada bentuk oval yang menjadi semacam bingkai dan latar belakang kedua wajah itu. Keduanya tampak mengenakan penutup kepala dan pakaian khas Banten.
Wajah yang besar dalam berada pada posisi atas adalah Kyai Ngabehi Wira Praja. Di bawahnya ada wajah yang dilukis lebih kecil dan bernama Kyai Ali Yahya Seridan. Tidak ada penjelasan apakah dua orang tersebut menjadi duta besar dalam kurun waktu yang berbeda atau justru bersamaan. Aku hanya menduga-duga kalau wajah yang lebih kecil dan posisinya di bawah adalah staf atau wakil dari sang duta besar. Barangkali bisa dibandingkan sebagai charge’ de affair dalam tingkatan diplomatik saat ini atau semacam atase yang kekuasaannya satu trap di bawah duta besar. Karena tak ada keterangan yang bisa kugali, aku pun memutuskan mengabadikan lukisan ini lewat kamera.


foto: sri nanang setiyono


NISAN INGGRIS: Menunjuk angka tahun 1677.
Aku masih sempat melihat-lihat koleksi lain. Lagi-lagi yang menarik perhatianku adalah jejak bangsa Inggris di Banten. Ada sebuah koleksi yang ternyata batu nisan dari makam orang Inggris yang dikubur di Banten. Batu nisan ini cukup besar dibanding nisan kuburan di Indonesia. Agaknya batu berpahat itu bukan cuma nisan tetapi penutup makam seperti kuburan-kuburan para firuan yang dikubur dalam peti batu. Sayang, aku tak menemukan pemandu dan melihat ada keterangan lain dari batu ini, jadi tak bisa mengkonfirmasikan dugaanku tadi. Batu ini hanya bertuliskan ”Here Iyeth the Body of Cap Roger Bennit Commander of the Bombay Marchant deceafed y3 of Januari 1677”.
Koleksi tentang nisan ini adalah yang terakhir yang menurutku menarik untuk dilihat. Sehabis itu, aku pun melenggang keluar walau sempat menengok replika rumah suku Baduy yang hidup di wilayah Pandeglang. Namun karena kulihat tidak istimewa akupun terus melangkah keluar dan kembali ke loket.
Penjaga loket ternyata sudah berganti. Petugas yang sempat cuek saat kusapa, kini yang bertugas. Aku sempat meminta dari dia sedikit informasi tentang data pengunjung dan sejarah Ki Amuk. Dia lantas menjawab pertanyaanku seputar pengunjung sambil melihat buku tamu. Dari situlah aku tahu tiap hari selalu ada pengunjung yang datang. Pada saat-saat tertentu, ada rombongan anak sekolah berkunjung. Kadang-kadang mahasiswa. Namun yang kerap datang justru keluarga usai berziarah ke makam Maulana Hasanudin.
”Dibanding museum-museum yang lain, di sini termasuk ramai. Tiap hari ada aja yang datang,” kata petugas yang ternyata bernama Obay Sobari yang kini bersikap ramah. Museum ini juga kerap didatangi peneliti asing dari Amerika, Perancis dan Jepang. Peneliti dari Amerika datang atas kerjasama Pemerintah RI dan Ford Fondation. Namun kerjasama itu sudah selesai, dan hanya peneliti lokal dan peziarah yang kerap berkunjung.

Ki Amuk yang Tak Mengamuk (Bagian 2)
Obay ternyata sangat paham tentang sejarah Banten Lama dan koleksi benda-benda purbakala. Dia sempat menanyakan kepadaku apakah sudah membeli buku tentang Banten Lama. Terus terang aku jawab tidak. Alasanku info tentang meriam Ki Amuk di dalam buku amat sedikit. Rupanya, Obay langsung tanggap dengan jawabanku tersebut. Tanpa diminta, dia membeberkan hal-hal yang tidak tertulis dalam buku tentang meriam dari baja yang berwarna gelap itu. Kesempatan itu segera aku sambar dengan menggoyang-goyangkan pena di atas notes.

Ki Amuk rupanya tak sendirian. Dia masih punya dua ”saudara” yang bernama Si Jimat dan Si Jagur

Riwayat Ki Amuk ternyata sangat menarik. Kata Obay, meriam seberat 7 ton ini adalah hadiah Sultan Trenggono kepada Sultan Hassanudin. Benda berat yang di bagian punggung dan samping kiri kanan tersembul gelang-gelang ini, adalah buatan Romawi Timur dan dipesan khusus oleh Sultan Trenggono. Ki Amuk rupanya tak sendirian. Dia masih punya dua ”saudara” yang bernama Si Jimat dan Si Jagur. Si Jimat dihadiahkan kepada penguasa Cirebon Sunan Gunung Jati, sedangkan Si Jagur diberikan kepada Fatahillah, penguasa Sunda Kelapa yang kini bernama Jakarta.
Saat Obay menyebut si Jagur, aku langsung teringat dengan bagian belakang meriam ini yang berbentuk kepalan tangan dengan jempol menyelip di antara jari tengah dan jari telunjuk. Dari cerita pemandu waktu diundang kegiatan Wisata Kota Tua di Museum Fatahillah, Jakarta, dua tahun lalu, aku diberi penjelasan simbol tersebut melambangkan kesuburan. Sempat kutanyakan apakah Ki Amuk juga memiliki kepalan tangan seperti Si Jagur. Obay mengiyakan. Hanya saja karena tak kulihat bentuk kepalan tangan itu, aku pun bertanya lagi.
”Itu kan sudah dipotong,” jawab Obay singkat. Penyebabnya ternyata simbol itu dianggap tak etis alias porno. Apalagi di wilayah Kesultanan Islam seperti Banten.


foto: sri nanang setiyono


PENDIAM: Meriam yang dijuluki Ki Amuk.
Di kampung halamanku di Banjarnegara, Jawa Tengah, para orang tua juga masih kerap mengingatkan anak-anaknya untuk tidak bermain-main dengan simbol itu karena dinilai “saru”. Saat masih duduk di SD, teman-temanku kadang-kadang terkekeh bila menunjukkan kepalan tangan dengan cara tersebut. Aku yang tidak paham pun ikut-ikutan bahkan kerap menunjukkannya kepada orang-orang dewasa. Mereka hanya tersenyum dan kadang-kadang mengingatkan. Belakangan setelah paham maksudnya, dan mengenal istilah pengajian usai magrib di mushola, simbol tangan itu pun aku tinggalkan.
Dibanding Si Jagur, Ki Amuk memang kalah kondang. Nama Si Jagur sudah lebih akrab di telinga wisatawan asing maupun lokal dan warga ibukota, karena meriam ini ditaruh di halaman belakang Museum Fatahillah di kawasan Kota, Jakarta. Warga ibukota yang mengunjungi museum untuk rekreasi atau melaksanakan standing party di halaman belakang museum, tertarik mejeng di samping meriam ini saat difoto. Namanya pun menyimpan legenda karena meriam ini dahulu kala selalu dibunyikan untuk menandai waktu berbuka puasa.
Namun ada hal yang tak pernah diungkap buku-buku tentang meriam itu. Ki Amuk rupanya memiliki tiga buah prasasti yang dipahat pada bodinya. Lagi-lagi Obay Subari dengan sukarela membagi ilmunya, walau saat berbincang kita dibatasi sekat kaca loket. Tiga prasasti itu hanya tinggal dua yang bisa dibaca. Semuanya dalam aksara Arab. Masi-masing berbunyi Aqoibatul khoiri Salamatul Iman dan La Fata illa Ali La Ali illa Zulkarnaen (Tiada Kemenangan Tanpa Ali, tiada Ali tanpa Zulkarnaen). Ali adalah keponakan nabi Muhammad SAW yang juga khalifah ke-4 sepeninggal nabi. Dia dikenal dengan pribadi yang cerdas, cekatan, bijaksana, kaya ilmu, dan juga jago berperang menggunakan pedangnya yang dijuluki Zulkarnaen.
Obay juga menyebutkan, pahatan berbentuk empat buat benjolan di bagian depan meriam melambangkan empat arah mata angin. Nah, pada bagian samping yang juga terdapat beberapa benjolan melambangkan delapan arah mata angin. Sambil mencatat, aku mendengarkan penjelasan Obay perihal gelang-gelang yang seperti gagang mug di bagian samping dan atas meriam.
”Meriam ini dibawa pakai gerobak. Jadi tidak benar kalau ada yang bilang bawanya dengan ditandu karena ada gelangnya. Masak beratnya 7 ton mau diangkat,” jelas Obay serius.
Bagaimana ceritanya hingga meriam bertengger di halaman museum? Menurut Obay, sebenarnya meriam ditemukan di Karangantu. Sayang aku lupa tidak menanyakan lokasi pasti dan tahun penemuannya. Meriam ini sempat akan dipasang di Korem Serang, namun beberapa elemen masyarakat memrotesnya. Lantas oleh pemerintah daerah waktu itu, meriam Ki Amuk di bekas alun-alun Banten Lama. Pada tahun 1994, meriam ini dipinjam ke Jakarta mengikuti Festival Istiqlal selama dua bulan. Setelah selesai, meriam ini ditempatkan di museum hingga saat ini.
Beberapa pengunjung yang datang membeli tiket sempat membuyarkan pembicaraanku dengan Obay. Karena penasaran dengan kisah Ki Amuk, aku pun bertanya lebih lanjut tentang buku atau sejarawan yang bisa aku temui. Namun Obay tak bisa memberi jawaban pasti.
”Kalau di sini siapa pak yang bisa saya tanya-tanya,” tanyaku penasaran.
”Paling saya. Saya kan paling lama di sini,” jawabnya.
”Lho memangnya dari kapan bapak bekerja di sini,”
”Tahun 78. Tinggal empat tahun lagi pensiun,” sahut Obay.
Segera saja aku mahfum dengan pengetahuannya yang luas tentang museum dan kisah-kisah penghuninya. Sayang karena pengunjung yang terus berdatangan dan tak memungkinkan melanjutkan pembicaraan, aku pun pamit dari Obay dan bergegas melangkah ke Masjid Agung.
Dinding Benteng Surosowan yang Kusam (Bagian 3)
Matahari sudah condong ke barat ketika aku melangkah keluar dari halaman museum. Tujuanku berikutnya adalah masjid Agung dan benteng Surowosan yang dari tadi seperti melambai-lambai minta dikunjungi. Aku menyusuri jalanan paving block yang tak lagi rata. Beberapa paving lepas dari tempatnya. Sepeda motor atau pejalan kaki mau tak mau harus memperhatikan langkah dan lajunya bila tak ingin kaget. Kanan-kiri jalan masih dijubeli pedagang kaki lima dan beberapa pedagang nasi dan bakso. Sayuran dan lauk yang tampak dari etalase kaca membuatku beberapa kali menelan ludah. Keinginan untuk mencicipi makanan sengaja kutahan karena khawatir tak sempat mendapat gambar-gambar bagus mengingat masih banyak yang ingin kulihat dan kuamati. Sambil menenteng kamera dengan tangan kanan, aku berjalan kea rah barat dan menemui pertigaan. Rupanya di belakang pertigaan itu adalah alun-alun yang dahulu kala menjadi lapangan di depan keraton. Di sisi barat alun-alun itulah berdiri Masjid Agung Banten Lama.
Bagi yang pertama kali ke Banten Lama, tentu bisa terkecoh oleh keberadaan alun-alun ini. Fungsinya nyaris terabaikan. Sekeliling alun-alun yang dipagari jalan berpaving block sudah penuh dijubeli para pedagang kaki lima. Begitu padatnya para PKL ini, sampai-sampai tak ada tempat kosong di sekeliling alun-alun jalan tembus menuju masjid. Pengunjung harus memutar seakan dipaksa melihat koleksi dagangan para pedagang kaki lima. Malah pada jalan paving block di sisi barat alun-alun itu, kepadatan pedagang kaki lima menciptakan semacam koridor. Pengunjung seakan-akan memasuki terowongan karena atap PKL yang terbuat dari tenda plastik dan mengapit dari samping kanan dan kiri jalan, saling bertautan menghalangi sinar matahari yang hendak menyentuh tanah. Lagi-lagi aku teringat pedagang aksesori murah di Melawai, Blok M, Jakarta.
Tak disangka, tiba-tiba dari arah belakangku mendekat tiga anak lelaki berumur kira-kira 10 tahun. Wajahnya memelas sambil meminta uang. Oh…rupanya anak-anak ini mengemis. Sepintas, aku juga melihat gerombolan anak-anak kecil dengan pakaian kumal, duduk-duduk di bawah pohon di pojok selatan alun-alun. Saat menemui pertigaan, aku memang berbelok ke kiri. Kepada anak-anak ini, aku katakan kalau aku bukan turis atau mau berziarah. ”Saya wartawan, ini kameranya,” kataku. Pada saat itu, uang di dompetku memang sudah menipis. Kalaupun ada, tak lebih dari Rp 30 ribuan. Pengemis anak-anak pun lantas pergi begitu aku berlagak hendak memotret mereka.
Lepas dari pengemis, aku melihat pintu masuk ke benteng. Rupanya selain bagian depan, di bagian belakang juga ada pintu masuk ke dalam benteng. Letaknya persis menghadap pojok tenggara alun-alun. Di depan pintu agak ke kiri, tertancap papan peringatan agar pengunjung tak merusak benda-benda cagar budaya itu. Ukuran gerbang masuk ini sama dengan pintu gerbang di sebelah timur. Bedanya, gerbang benteng ini tak beratap. Seperti dua ujung tembok yang dibangun terpisah dan tak dipertemukan. Karena berfungsi menahan gempuran musuh, tembok benteng ini pun sangat tebal. Kira-kira 8 meter dihitung dari sisi luar hingga sisi dalam.



foto: sri nanang setiyono


TINGGAL PONDASI : Dulu di sini tinggal Sultan dan keluarganya.
Menempel pada kanan-kiri gerbang di sisi dalam benteng, ada tangga yang juga terbuat dari batu bata. Langsung saja tangga sebelah kanan aku naiki. Rupanya itu adalah jalan menuju bagian atas benteng. Tak ada atap, tak ada pohon-pohon. Rumput-rumput liar dibiarkan tumbuh menutupi punggung benteng yang terbuat dari tumpukan batu bata. Begitu lebatnya, sampai-sampai tak tampak lagi warna coklat batu bata di punggung benteng ini.
Jangan bandingan dengan tembok besar China yang bagian atasnya sering dipakai untuk jalan-jalan turis karena bersih dan kokoh. Benteng Surosowan ini bahkan tak mampu “menghidupkan” kebesaran masa lalu Banten. Dengan kondisinya kini, memori kita justru diisi dengan cerita tentang kehancuran dan kekalahan kerajaan di ujung barat pulau Jawa ini kepada bangsa kulit putih Eropa.
Dari sini kita bisa mengawasi sekeliling dengan jelas. Dahulu kala, para prajurit dengan mudah mengenali penyusup atau penyerang hanya dengan berdiri di atas benteng ini. Satu-satunya bangunan yang lebih tinggi dari benteng adalah menara masjid. Dari sini pula, aku bisa mengawasi peziarah yang terus berdatangan baik untuk berziarah ke makam Sultan Hasanudin dan keluaganya atau sekadar beribadah di dalam masjid.
Kuamati sekeliling. Bagian dalam benteng cukup luas untuk menjadi semacam perkampungan kecil. Kira-kira seluas lapangan bola di stadion Gelora Bung Karno. Di film-film, kita mendapat gambaran, halaman dalam benteng biasanya juga dipakai untuk tinggal prajurit atau bangsawan istana. Seperti apa gambaran bagian dalam benteng ini berabad-abad lalu? Yang pasti, saat aku berdiri di atas benteng, yang kulihat hanya bekas-bekas pondasi, tangga dan lantai di tengah-tengah benteng. Pondasi-pondasi ini juga terbuat dari batu bata. Ada yang berbentuk persegi panjang. Ada pula setengah lingkaran dan berundak-undak. Yang terakhir ini tampaknya bekas tangga ke pendopo atau semacam tangga teras masuk balai-balai.
Selepas beberapa kali memencet tombol kamera dan terdengar bunyi cekrek, aku turun dan menuju pojok benteng. Di sana ada pintu yang bagian dalamnya gelap. Ini adalah kamar para prajurit penjaga benteng. Aku memang tak masuk dan hanya berdiri di depannya. Lantainya yang becek dan bau tak sedap dari dalam ruangannya menahan rasa penasaranku. Sempat pula muncul rasa was-was kalau-kalau ada ular atau kelabang mendekam di sana. Karena batal masuk, aku mengambil langkah balik. Mataku menangkap bibir sumur tak jauh dari pintu masuk. Ketika kulongok, formasi batu bata berbentuk melingkar itu memang benar-benar sumur. Tak begitu dalam memang, hanya sekitar 3 meter dari permukaan tanah. Airnya bening dan dangkal sehingga dasarnya tampak kecoklatan oleh lumut dan batu batu.


foto: sri nanang setiyono

JUAL KOIN: Penjual recehan di depan gerbang masjid.
Berikutnya, aku berjalan keluar benteng. Di sela-sela deretan PKL, aku menyelinap menerobos alun-alun. Di sinilah aku lalui terowongan PKL yang beratap terpal warna oranye. Sesaat sebelum masuk, pandanganku tertuju pada ibu penjual kembang setaman yang terkantuk-kantuk bersandar di salah satu tembok gapura menuju halaman Masjid Agung. Di depan tembok gapura satunya lagi, seorang ibu dengan ramah tersenyum kepadaku. Ibu ini sempat memanggil temannya yang sedang terkantuk itu untuk bangun karena tahu aku mau memotretnya. Dalam hatiku, sempat terbersit rasa kesal karena bakal kehilangan momen menarik untuk objek bidikan lensa. Benar saja, begitu kamera diarahkan tiba-tiba ibu penjual kembang itu terbangun. Cekrek. Saat kulihat monitor kamera, momen yang kutunggu tadi sudah lewat. Rekaman foto justru menapakkan ekspreksi si ibu yang dalam kondisi terbangun. Aaaaaaaaaaaaaaaaah.
Tapi aku tetap saja tersenyum kepada mereka. Ibu yang membangunkan rekannya tadi bertanya kepadaku.
”Buat apa mas,” tanya dia.
”Saya memang hobi motret kok, bu” jawabku pendek.
”Sendirian saja?” sergahnya lagi.
”Iya. Lebih enak sendiri, soalnya motretnya jadi lebih bebas,” kataku sedikit berbohong. Dalam hati sebenarnya berkata, kalau ada yang menemani aku pasti lebih senang karena ada yang diajak mengobrol atau sekadar bersendau gurau. Hehehe, kacian ya….
Aku perhatikan dagangan si ibu yang berusia sekitar 50 tahun ini. Dia berbicara dalam bahasa Jawa Banten yang mirip bahasa Jawa dialek Cirebon namun logatnya agak asing di telingaku. Di depannya, ada meja pendek panjang. Beberapa tumpuk uang recehan berjajar di atasnya.
”Buat ngasih ke anak-anak sama buat ngisi kotak amal,” jelasnya waktu aku tanya alasan uang recehan itu ditumpuk dan ditata sedemikian rupa.
”Itu buat ditukar?,” tanyaku. Si ibu berkebaya ini pun mengangguk.
”Bayar seribu, kita kasih delapan ratus,” jelasnya lagi. Kini giliranku yang mengangguk-angguk. Aku langsung teringat perkataan seorang kiai beberapa tahun lalu tentang manfaat menjadi orang soleh. Saat hidup, dia menjadi pelita bagi sekelilingnya. Setelah meninggal, ucapan, tindakan dan pikirannya masih bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Bahkan makamnya pun menjadi ladang penghidupan bagi orang banyak lewat perantaraan para peziarah yang terus berdatangan. Dan si ibu adalah sedikit dari para pedagang yang mendapat berkah dari keberadaan makam keluarga Sultan dan Masjid Agung ini.


foto: sri nanang setiyono

SENORITA DARI SERANG : Ibu-ibu ini memakai topi yang mirip topi Meksiko.
Ibu ini lantas aku tinggal ketika seorang pembeli datang. Aku masuk ke halaman Masjid lewat jalan berpaving blok yang juga sebagian dikuasai pedagang kaki lima. Saat di samping mesjid, ada pemadangan menarik yang tak ingin aku lewatkan. Kamera aku arahkan kepada sekumpulan pedagang–kalau tak salah 5 orang dan semuanya wanita. Mereka berjualan kopiah, tasbih dan pernik-pernik lain.
”Maaf bu, saya potret ya,” celotehku. Beberapa dari mereka tersenyum dan bertanya alasanku memotret. Aku katakan, tertarik dengan topi yang mereka kenakan karena sama dan seragam. Bermotif doreng-doreng militer dan bentuknya menyerupai topi ala Meksiko.
”O ini, kebetulan belinya bareng di Tanah Abang,” kata salah satu dari mereka saat aku melambaikan tangan dan berucap terima kasih.
Aku melangkah mendekat ke arah menara masjid. Kaget dan heran. Aku amati para pengunjung masjid megah ini. Selain manusia, ternyata banyak kambing berkeliaran di halaman masjid. Aku cuma berharap hewan-hewan ini tak buang hajat sembarangan. Bayangkan saja bila itu terjadi, pasti bau tak sedap tersebar ke mana-mana. Iiiiiihh….
Sempat aku memotret menara setinggi kira-kira 15 meter itu. Ada pintu di bawahnya bagi pengunjung yang ingin melihat pemandangan dari atas menara. Tetapi aku tak tertarik masuk. Entah mengapa, ada perasaan enggan karena membayangkan pengapnya suasana di dalam menara. Terlebih ketika cuaca sedang panas-panasnya saat itu.
Kulihat jam di lengan kiriku menunjuk pukul 14.15. Aku belum mengerjakan salat zuhur. Sambil mencari jalan ke tempat wudhu, mataku menangkap lagi orang-orang yang datang berombongan hendak berziarah. Memang, makam keluarga Sultan Hasanudin dan keturunannya berada di sebelah utara masjid. Para peziarah ini tampak sibuk. Mereka selalu dihadang oleh anak-anak kecil yang mengemis uang recehan dan penjual asongan yang menawarkan air minum. Sebagian tak peduli dan langsung masuk, namun tak sedikit yang menukarkan uang ribuan kepada si penjual asongan ini, terutama peziarah wanita. Rupanya penjual asongan ini juga menawarkan uang recehan kepada peziarah. ”Ayo yang mau nukar receh. Yang mau nukar receh,” teriaknya seraya menenteng termos es di tangan kiri dan tangan kanannya memegang segepok uang kertas. Aksi pedagang asongan ini sempat kuabadikan lewat kamera.
Merasa cukup, aku segera masuk masjid, berwudu, dan menunaikan kewajiban solat. Ada keinginan untuk memotret bagian dalam masjid, namun hal itu kuurungkan khawatir dianggap aneh dan neko-neko oleh jemaah lain. Memang inilah kebiasaanku bila jalan-jalan membawa kamera, selalu ingin merekam apapun yang kuanggap unik. (bersambung)


foto: sri nanang setiyono

TINGGI: Pengunjung bisa naik ke atas Menara Masjid Agung ini.
Mata Air Cinta (Bagian 4)
Usai sholat aku duduk di tangga beranda sebelah utara masjid. Kuperhatikan para peziarah yang keluar masuk lokasi makam. Dari tangga, tingkah laku sebagian peziarah memang bisa dilihat. Umumnya mereka berdoa. Ada petugas dari kenadhiran (semacam pengurus) yayasan kesultanan Maulana Hasanudin yang melayani para peziarah. Petugas ini duduk menjaga kotak-kotak amal di depan pintu masuk ruang makam. Ada juga yang memandu peziarah untuk tertib dan antri masuk ke dalam komplek makam. Komplek ini masih dalam satu lingkungan pagar makam. Letaknya di sisi utara bangunan masjid. Di antara masjid dan makam ada tempat wudhu, dan bak mata air. Makamnya sendiri tidak dalam ruang terbuka. Tempatnya dikelilingi tembok dan diberi atap permanen. Namun untuk masuk, tetap harus melewati pagar masjid.
Aku amati, para peziarah umumnya berwajah pribumi dengan gaya berpakaian sederhana. Satu rombongan biasanya berjumlah 5 hingga belasan orang. Ada pula yang puluhan dan datang dengan mencarter bis. Aku yakin mereka bukan orang-orang perkotaan yang bekerja di kantor-kantor ber-AC dan rajin merawat tubuh. Tak tampak wajah-wajah bersih dengan sapuan perona pipi, eyeshadow atau mascara. Pun baju-baju bermerek yang pasti harganya mahal. Atau penampilan trendi pria-pria metroseksual dengan bau parfum wangi yang bisa tercium belasan meter jauhnya. Penampilan para peziarah ini mengesankan strata sosial mereka dengan gaya hidup bersahaja. Merekalah orang-orang yang dalam terminologi Clifford Geertz digolongkan sebagai kaum santri. Tinggal di kawasan pesisir, jauh dari akses kekuasaan, lebih taat pada ajaran agama Islam, serta tidak berorientasi pada duniawi dan materi.
Sebaliknya, golongan kedua di luar kaum santri, menurut Geertz, adalah kaum priyayi abangan. Kelompok ini disebut tak terlalu taat agama atau diistilahkan Islam KTP, menguasai akses kekuasaan dan pendidikan, orientasi politiknya lebih sekuler, dan lebih mementingkan kehidupan duniawi, dengan buku bacaannya berupa primbon. Sayangnya, terminologi ala Geertz ini sudah terlalu lama karena didasarkan pada penelitiannya di tanah Jawa 50 tahun lalu. Sekarang ini, setelah informasi dan pendidikan lebih merata dan masuk ke pelosok desa, terminologi santri-priyayi abangan memang tak lagi relevan. Hanya saja, aku masih setuju kalau dikatakan kaum santri bisa lebih bersahaja menyikapi hidup daripada kaum priyayi-abangan. Setidaknya itulah pengalaman pergaulanku dengan mereka. Sangat jauh berbeda dengan pilihan kaum priyayi-abangan masa kini yang lebih nyaman dibuai oleh gaya hidup pop culture hasil olah karya kaum pemilik modal, penguasa media, dan pemegang kekuasaan hegemoni. Kaum ini tak sadar atau tak peduli kalau gaya hidupnya sebenarnya mengikuti kemauan pencipta trend setter yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Masih duduk di beranda, aku amati juga polah peziarah usai keluar dari lokasi makam. Mereka mendatangi bak mata air yang ditunggui petugas kenadhiran berbaju gamis dan berkopiah. Bak air itu ada dua buah dan berdempetan letaknya. Di bibir bak ditempatkan ember yang penuh oleh buntalan plastik tembus pandang berisi air. Mirip orang membuat es batu sebelum dimasukkan ke dalam kulkas.
Ada peziarah yang langsung datang meminta air untuk cuci muka. Lalu petugas dengan sukarela mengambil air dari bak dengan gayung dan menyerahkannya. Ada pula yang mengisikan ke dalam botol air mineral untuk diminum atau dibawa pulang. Umumnya yang melakukan hal ini adalah peziarah wanita, dari yang remaja hingga nenek-nenek. Sempat pula aku lihat peziarah pria melakukannya tapi selama aku duduk di sana, pemandangan itu termasuk langka. Aku yang duduk hanya berjarak 2 meter dari bak itu lama-lama tergugah untuk bertanya.
”Air ini khasiatnya apa, Pak,” tanyaku pada seorang petugas kenadziran.
”Tergantung percayanya,” jawabnya singkat sambil tersenyum. “Kalau percaya nyembuhin rematik, ya bisa sembuh,” lanjutnya.
”Emang air itu dijual?,” kataku lagi penasaran.
Ia mengangguk, namun tak mengeluarkan sepatah kata pun.
”Berapa?” tanyaku lagi.
”Terserah. Seikhlasnya saja,” jawab petugas ini.
Aku makin penasaran dengan percakapan ini. Apalagi, sepertinya khasiat air tersebut sangat dipercaya oleh peziarah.
”O….jadi kayak air zamzam ya,” gumanku.
”Bisa dibilang begitu,” sahutnya lagi.
”Apa airnya tak pernah kering kalau lagi kemarau,” tanyaku lebih jauh.
”Kalau di sini ya alhamdulillah, sudah berkali-kali kemarau ada saja airnya. Kalau warga sekitar sini kekeringan, air sumber ini tetap saja ngalir,” katanya panjang lebar seraya telunjuknya mengarah ke rumah-rumah dan kampung di sekitar komplek makam dan masjid.
”Kalau air buat wudhu yang itu, apa juga dari sumber ini”. Rasa penasaranku makin tinggi dan butuh dilampiaskan.
”O tidak. Itu lain,”. Petugas yang sempat kutanya namanya itu, lantas berguman namun aku tak begitu mengingatnya lagi. Otakku berputar, pertanyaan apa lagi yang mesti kulontarkan.
”Kalau boleh tau, apa nama mata air ini?,”. Ah inilah rupanya pertanyaan penting itu.
”Mata air cinta,” katanya pendek.
“Benar mata air cinta?” kataku dengan intonasi meminta kepastian. Sayangnya jawaban yang kutunggu tak pernah muncul. Petugas kenadziran ini cuma tersenyum tak peduli dengan rasa ingin tahuku yang tengah membumbung. Segera aku sadar, ekspresi mukanya memang tak sedang serius. Kalimat terakhirnya tadi tak lebih dari caranya melepaskan diri dari deretan pertanyaan yang sedang antre panjang di belakang otakku.


foto: sri nanang setiyono

MENGANTRE: Membasuh muka dengan air dari Mata Air Cinta.
Petugas itu pun berlalu. Saat jam menunjuk angka 15.15, aku beranjak pergi untuk kembali pulang. Tak ada lagi yang ingin kulihat atau kupotret mengingat memory card dalam kameraku sudah full. Aku hanya teringat Adri yang kemungkinan bakal datang dari Jakarta. Cepat-cepat kutuju parkiran di depan museum. Sialnya, ketika sepeda motor sudah di depan mata dan tanganku merogoh saku celana, tak kutemukan anak kunci yang sudah sangat akrab dengan indra peraba jemari tanganku. Kurogoh lagi kantong celana jins yang sudah kumal dan tas pinggang yang menggantung pada sabuk ikat pinggangku. Toh, usahaku sia-sia saja. Aku masih sempat berharap anak kunci itu masih mendekam pada saku jaket yang kutinggal di stang sepeda motor. Aaach….., hasilnya sama saja. Nihil.
Putus asa, aku lantas bertanya pada satpam yang duduk di pos jaga. Beruntung satpam ini mengenali anak kunciku yang jumlahnya banyak itu. Di pun masuk ke pos dan keluar sembari menunjukkan benda yang kucari. Detak jantungku pun kembali normal. Sempat kutunjukkan STNK dan kartu parkirku. Rupanya anak kunci itu tadi tertinggal di rumah kunci gara-gara aku terlalu bersemangat ingin memotret Ki Amuk. Kami sempat berkenalan dan mengobrol sekitar 20 menit sambil menikmati segelas es kelapa muda yang kupesan dari seorang pedagang yang mangkal di sana. Sebelum pamit, petugas bernama Yayat itu memintaku mampir ke rumahnya bila aku punya waktu luang. Aku pun mengangguk. Tak lupa kuucapkan terima kasiha atas budi baiknya mengamankan kunci sepeda motorku. Dia pun berterima kasih karena tadi kuselipkan selembaran rupiah berwarna merah ke tangan kanannya.
”Itu tak seberapa. Kalau sepeda motor ini hilang, saya rugi lebih banyak lagi. Terima kasih,” kataku sambil mengucap salam. Saat itu, aku teringat si ibu penjual receh. Kalau dia bertanya lagi aku akan jawab tak lagi sendirian di sini karena ada kawan yang ikhlas menolongku.
Selepas dari kompleks Banten Lama, aku sempat berhenti sejenak memotret kapal-kapal nelayan yang bersandar di tepi sungai Cibanten, satu kilometer dari kawasan Banten Lama. Tentu setelah menghapus salah satu foto dalam memory card.(habis)


foto: sri nanang setiyono

EKSOTIK: Kapal-kapal Nelayan di Sungai Cibanten.
Diposkan oleh caringin beach di 19:23

Hadits Online

Al-Qur'an online